Saat ini, transformasi digital dilakukan oleh berbagai sektor industri
untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang serba digital, terutama didorong
dengan pandemi COVID-19 yang masih berlangsung. Salah satunya dilakukan oleh
pemerintah, yang berupaya untuk melakukan transformasi digital pada sektor
publik. Berdasarkan riset bertajuk ‘Transformasi Digital Sektor Publik di
Indonesia : Tantangan Terkini’ yang merupakan kolaborasi antara Badan Siber dan
Sandi Negara (BSSN), Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI), serta Fakultas
Ilmu Komputer Universitas Indonesia (Fasilkom UI), pemerintah telah melakukan
upaya untuk percepatan transformasi digital di sektor publik. Namun dalam pelaksanaannya, upaya transformasi digital ini memiliki
dampak dan performa yang belum optimal. Isu infrastruktur juga dinilai memiliki
pengaruh dalam pelaksanaan transformasi digital di sektor publik. Hasil riset menunjukkan, adanya tantangan dalam melaksanakan
transformasi digital di sektor publik. Berdasarkan survei yang dilakukan pada
31 lembaga, terdapat enam tantangan transformasi digital. Tantangan tersebut antara lain terdiri atas kurangnya kuantitas dan
kualitas sumber daya manusia (SDM), isu kebijakan dan regulasi, isu keamanan
dan perlindungan privasi, isu infrastruktur teknologi informasi (TI), integrasi
sistem dan layanan, serta resistensi organisasi. “Dari enam tantangan yang kami survei berdasarkan studi literatur,
terdapat tiga tantangan terbesar dalam melaksanakan transformasi digital, yaitu
kurangnya kuantitas dan kualitas SDM, isu regulasi, kebijakan, dan prosedur,
dan isu keamanan serta perlindungan privasi,” kata Dosen & Peneliti
Fasilkom UI, Prof. Dr. Achmad Nizar Hidayanto selaku Ketua Tim Peneliti dalam
kegiatan Publikasi Riset yang merupakan bagian dari rangkaian kegiatan CyberHub
Fest 2022. Nizar menjelaskan, bahwa tantangan kurangnya kuantitas dan kualitas SDM
untuk transformasi digital merupakan hasil yang relevan dengan demografi
karyawan dari 31 lembaga yang mengikuti survei, di mana sebagian besar
responden memiliki jumlah karyawan kurang dari 50 orang sehingga dipandang
kurang cukup jika transformasi digital dilaksanakan. Sementara berkaitan dengan isu regulasi, kebijakan, dan prosedur, Nizar
menyampaikan bahwa isu ini kemudian juga muncul di tema lain dalam penelitian,
antara lain berkaitan dengan hambatan adopsi cloud computing sebagai
teknologi yang mendorong transformasi digital. “Berdasarkan survei, regulasi, kebijakan, dan prosedur masih dipandang
tidak cukup meskipun sudah ada UU ITE hingga Perpres untuk SPBE. Mereka
membutuhkan satu payung hukum lagi yang lebih jelas untuk transformasi
digital,” jelas Nizar. Responden penelitian juga memiliki isu berkaitan dengan keamanan dan
perlindungan privasi dalam melaksanakan transformasi digital. Hal ini berupa
kekhawatiran jika nantinya ada pencurian data, ataupun hacking. Isu
keamanan ini kemudian berkaitan dengan kebijakan dari BSSN. Sementara berkaitan dengan teknologi cloud computing sebagai
teknologi yang mendorong percepatan transformasi digital, hasil survei
menunjukkan bahwa dari 31 lembaga responden, sebanyak 67,7% telah melakukan
adopsi cloud computing, dan 32,3% lainnya belum melakukan adopsi. Berkenaan dengan pengadopsian teknologi ini, survei pada 31 lembaga
sebagai responden menunjukkan adanya tujuh faktor yang mendorong adopsi
komputasi awan atau cloud computing. Tujuh faktor pendorong tersebut antara lain adalah kesesuaian
layanan cloud dengan kebutuhan, keinginan berinovasi dari
organisasi, persepsi manfaat cloud computing, jumlah pengguna dari
layanan TI, dukungan pimpinan, regulasi dan kebijakan, hingga pengaruh sosial
antar instansi. “Kesesuaian layanan dengan kebutuhan, keinginan berinovasi dan
organisasi, serta persepsi manfaat dari cloud computing merupakan
faktor utama yang kemudian mendorong adopsi teknologi cloud,” kata
Nizar. Namun dalam pengadopsiannya, instansi yang ada di sektor publik juga
memiliki beberapa faktor yang menghambat adopsi cloud computing.
Terdapat 10 faktor yang menghambat langkah adopsi cloud computing. Faktor penghambat tersebut antara lain adalah kekhawatiran instansi akan
akses dan kontrol data di cloud, kekhawatiran keamanan dan privasi,
isu regulasi, kurangnya kompetensi teknis, pengetahuan SDM yang kurang
mengenai cloud computing, kurangnya kepercayaan terhadap
layanan cloud, kesulitan integrasi cloud computing dengan
sistem lain milik instansi, kurangnya kehandalan serta performa layanan cloud,
jaringan internet yang tidak stabil, serta resistensi internal organisasi. Berkaitan dengan akses dan kontrol data, responden menunjukkan adanya
kekhawatiran dikarenakan tidak ada barang nyata yang dimiliki. Hal ini berbeda
dengan penyimpanan data on-premise, di mana instansi memiliki
kontrol penuh atas data atau aplikasi yang dijalankan. Nizar menjelaskan, bahwa kekhawatiran ini kemudian berhubungan pula
dengan kekhawatiran instansi sektor publik terhadap keamanan dan privasi data
yang tersimpan. Hal ini dikarenakan ada kekhawatiran bahwa data atau aplikasi
kemudian bisa diambil atau dibaca oleh penyedia layanan cloud. Sementara berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, tim peneliti
menyimpulkan bahwa privasi, keamanan, serta akses data menjadi masalah utama
yang diperhatikan oleh lembaga pemerintah. Lalu di saat yang sama, mereka juga menginginkan adanya penyedia layanan cloud
computing yang responsif, mudah dihubungi, serta cepat tanggap jika
ada masalah. Selain itu, tantangan terbesar yang dihadapi dalam transformasi
digital adalah persoalan kebijakan dan regulasi yang belum mengakomodir
percepatan digital di sektor publik. “Selain regulasi di level pusat, nanti juga perlu regulasi secara
internal mengenai transformasi digital. Selain itu, berkaitan dengan kompetensi
teknis SDM perlu lebih banyak dilakukan lebih banyak pelatihan cloud bagi
SDM. Harapannya, hal ini kemudian akan mengurangi faktor yang menghambat
adopsi cloud computing,” tutup Nizar.
Sumber
:
https://www.cloudcomputing.id/berita/riset-tantangan-transformasi-digital-sektor-publik |