Ekosistem Internet
of Things (IOT), di Indonesia memiliki potensi yang besar, apalagi
ketika didorong oleh teknologi 5G. Namun di sisi lain, terdapat sejumlah
tantangan yang menjadi pekerjaan rumah bagi pengembang IOT. Ketua Umum Asosiasi
IOT Indonesia (ASIOTI) Teguh Prasetya mengatakan, potensi ekosistem atau pasar
IOT di Indonesia pada tahun 2022 mencapai USD 26 miliar atau Rp 372 triliun,
yang terdiri dari peningkatan di beberapa sektor. Mulai dari sektor
perangkat yang potensinya meningkat 13% menjadi USD 3,4 miliar atau Rp 48,6
triliun, dan jaringan meningkat 9% menjadi USD 2,3 miliar atau Rp 32,8 triliun. Berikutnya
peningkatan juga terjadi di IOT sektor aplikasi sebesar 33% menjadi USD 8,6
miliar atau Rp 122,9 triliun dan aplikasi sebesar 45% yakni USD 11,7 miliar
atau Rp 167,3 triliun. “Di tahun 2022
pasar IOT akan meningkat dan aplikasi mengalami peningkatan yang tinggi hingga
Rp 167,3 triliun dibandingkan sektor IOT lainnya,” ujar Teguh dalam diskusi
virtual Telset Techtival 2021 yang dihelat pada Selasa (11/1/2022). Kemudian sepanjang
tahun potensi pasar IOT akan terus mengalami peningkatan. Nantinya di tahun
2025 pasar IOT di Indonesia diprediksi mampu bisa mencapai USD 40 miliar atau
Rp 572,7 triliun di tahun 2025, dengan 678 juta perangkat IOT yang sudah
terhubung. “Berdasarkan hasil
analisa ASIOTI di tahun 2020 besarnya potensi IOT di Indonesia hingga tahun
2025 adalah USD 40 miliar. Potensi ekosistem IOT yang besar ini sejalan dengan
minat, kebutuhan serta demand dari masyarakat yang ada,” ungkap Teguh. Pria yang juga
berstatus sebagai Dirut PT Alita Praya Mitra ini menjelaskan kalau terdapat 9
sektor IOT yang bisa dikembangkan di tahun 2022 sampai 2025. Kesembilan sektor
tersebut adalah Kesehatan, Makanan dan Minuman, Pertanian dan Perkebunan,
Tambang dan Perminyakan, Perumahan, Transportasi, Perkantoran & Kawasan,
Pendidikan dan Manufaktur. “Ada 3 hal besar
yang akan menjadi pokok pengembangan IOT yaitu meningkatkan operasional dan
efisiensi, meningkatkan kualitas kesehatan dan keamanan, serta meningkatkan
produktivitas. Ketiga hal tersebut terbagi dalam 9 sektor pengembangan,”
jelasnya.
Teknologi 5G Dorong
Ekosistem IOT di Indonesia Tahun 2021
Indonesia resmi menggelar teknologi 5G. Teknologi terbaru itu diharapkan mampu
mendorong ekosistem IOT di Indonesia. Menurut VP Internet of Things Telkomsel, Alfian Manullang, bahwa 5G
merupakan platform yang mampu mendorong berbagai inovasi di segala sektor,
salah satunya IOT. “5G adalah platform
yang mampu mendorong terciptanya inovasi, di sektor eMBB, Mobile Edge
Computing (MEC), Network Slicing, Massive IOT dan Ultra
Low Lag,” tutur Alfian. Khusus mengenai
IOT, Alfian berkata kalau teknologi 5G mampu meningkatkan implementasi produk
IOT di sektor industri manufaktur. Berdasarkan
kolaborasi Telkomsel dan Schneider Electronics di Batam, ternyata 5G mampu
mendukung beberapa use case IOT seperti Industrial IOT, Augmented
and Virtual Reality, Lean Digitization System (OEE),
dan Energy Efficiency menjadi lebih maksimal. “Melalui kolaborasi dengan Schneider, kami
ingin menjadi pionir atau benchmark dalam pemanfaatan 5G,
sebab dengan IOT yang didukung 5G kita bisa mendapatkan output yang
lebih baik dari segi produktivitas, efisiensi dan keselamatan,” sambung
Alfian. Hal yang sama juga
dikatakan oleh Product Manager Xiaomi, Calvin Nobel yang berpendapat kalau
teknologi 5G bisa mendorong perusahaan untuk membawa lebih banyak produk AI dan
IOT (AIOT) ke Tanah Air. Apalagi saat ini Xiaomi telah memiliki lebih dari 2000
produk, dan sudah memiliki lebih dari 400 juta pengguna di seluruh dunia. “Dengan adanya
5G, Xiaomi bisa membawa produk-produk yang
lebih banyak dan menyeluruh sehingga semua orang lebih aware terhadap
produk dari Xiaomi. Kedepannya kita akan membawa lebih banyak produk lain ke
indonesia,” imbuhnya. Tantangan
Implementasi Ekosistem IOT di Indonesia Terdapat sejumlah
tantangan yang terjadi untuk ekosistem IOT di Indonesia. Setidaknya ada 4
tantangan yang dihadapi oleh pengembang IOT. Tantangan pertama adalah soal
literasi di kalangan executive level dan masyarakat umum mengenai IOT. “Banyak yang belum
mengerti mengenai IOT sehingga perlu adanya edukasi dan sosialisasi secara
masif dan terstruktur,” jelas Teguh. Tantangan kedua
adalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih minim, khususnya SDM yang telah
memiliki sertifikasi dan spesialist di bidang IOT. Untuk
mengatasi masalah tersebut perlu adanya training, assessment dan
pembinaan yang menyeluruh, mulai dari pendidikan dasar hingga vokasi. “Minimnya SDM
menjadi kendala dan jawabannya adalah melakukan training dari pendidikan dasar
hingga vokasi. Hal ini dapat dilakukan oleh lembaga formil maupun mandiri
dan online. Tujuannya agar banyak SDM yang mempunyai skill IOT,”
sambungnya. Ketiga adalah
keterbatasan kapital baik dalam bentuk investasi awal dan insentif mengenai
IOT. Jawaban dari tantangan ini yakni dengan fleksibilitas pola implementasi
mulai dari OPEX, Bagi Hasil, Hibah/Socialpreneur dan Sponsorship. Keempat adalah
masalah komponen elektronik seperti importasi, dan kelangkaan supply. Teguh
menyarankan agar perlu adanya kemudahan dan pemberian insentif impor
komponen. “Hal ini dinilai
diperlukan untuk pembuatan industri komponen elektronik seperti chip di
Indonesia. Kita berharap bisa mengatasi kelangkaan supply, dengan
menggunakan produk chip lokal yang ada,” saran Teguh. Dia menyimpulkan
bahwa IOT akan terus bertumbuh dengan pesat sejalan dengan pengembangan
otomatisasi di semua sektor kehidupan masyarakat. Selain itu,
pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan pengembang IOT untuk bisa membentuk
ekosistem yang saling bersinergi agar dapat bertumbuh dengan cepat.
Sumber :
https://gayatekno.id/internet/potensi-dan-tantangan-ekosistem-iot-indonesia-2022/ |