Indonesia dinilai
mempunyai potensi pertumbuhan bisnis komputasi awan (cloud) yang besar, hingga
berpeluang menjadi hub pusat data di Asia. Namun, Tanah Air dinilai membutuhkan
pusat inovasi dan ketersediaan talenta digital untuk memaksimalkan potensi
tersebut. Country Managing Director
Accenture Indonesia Kher Tean Chen mengatakan, Indonesia mempunyai potensi
pertumbuhan layanan cloud seiring dengan banyaknya jumlah unicorn. Sejumlah
unicorn yang ada di Indonesia antara lain, Traveloka, Bukalapak, OVO, J&T
Express, dan Online Pajak, Selain itu, terdapat decacorn Gojek yang melebur
dengan Tokopedia menjadi GoTo. Indonesia juga mempunyai populasi pengguna layanan digital yang besar. Tercatat, jumlah pengguna internet di Indonesia terus bertambah menjadi hampir 200 juta. "Pasar cloud
Indonesia dibandingkan dengan negara lain di wilayah Asia Tenggara itu
terhitung besar. Indonesia memiliki unicorn paling banyak. Mereka mengkonsumsi
data penggunaan dengan sangat banyak," ujar Kher Tean dalam konferensi
pers virtual pada Kamis (26/8). Berdasarkan laporan
berjudul The Future of Cloud in Asia Pacific dari Cisco dan BCG, pengeluaran
infrastruktur informasi dan teknologi (IT), serta public cloud Indonesia
merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Pertumbuhan majemuk
tahunan alias compound annual growth rate (CAGR) pengeluaran perusahaan di
Indonesia untuk IT 13% selama 2020 - 2024. Sedangkan di Malaysia 10% dan
Singapura 8%. Sedangkan CAGR pengeluaran
layanan public cloud di Indonesia 25%. Lebih tinggi dibandingkan Malaysia 23%
dan Singapura 20%. Namun, pengembangan cloud
di Indonesia masih menemui kendala. Nutanix Enterprise Cloud Index (ECI) 2020
menunjukkan bahwa 20% bisnis di Indonesia enggan mengadopsi cloud. "Ini karena, untuk
pindah ke cloud itu tidak instant," kata Cloud Intelligence Engineering
Associate Director, Tanjung Puranto. Untuk itu, Accenture
meluncurkan pusat inovasi, Accenture Innovation Centre for Cloud Indonesia
(AICCI) di Indonesia. Tujuannya untuk membantu perusahaan di segala bidang
industri agar bisa bertransformasi ke layanan cloud. Melalui pusat inovasi
tersebut, perusahaan dapat mengevaluasi kelayakan dan keamanan layanan cloud
mereka. Perusahaan juga bisa menikmati pengalaman solusi berbasis cloud
berdasarkan kebutuhan bisnis masing-masing. Selain itu, perusahaan
dapat sekaligus memanfaatkan kolaborasi dengan ekosistem mitra teknologi yang
luas. Kendala lainnya, Indonesia
membutuhkan banyak talenta digital yang menguasai cloud. Sebab, riset Amazon
Web Services, Inc. (AWS) dan firma konsultan bidang strategi dan ekonomi,
AlphaBeta menunjukkan, hanya 19% dari seluruh angkatan kerja di Indonesia yang
mempunyai keahlian di bidang digital. "Mesti mempunyai
orang yang ahli di bidangnya. Investasi juga diperlukan. Ini agar Indonesia
bisa cloud first," kata Accenture’s Cloud First Lead for ASIAM, Laurent Gatignol.
Menteri Komunikasi dan
Informatika (Kominfo) Johnny Plate juga sempat mengatakan, untuk penyediaan
talenta digital itu, pemerintah menggaet perusahaan teknologi global.
Kolaborasi ini mulai dari pengembangan tingkat dasar, menengah, dan atas di bidang
digital. Pada tingkat dasar,
kementerian berfokus mendorong literasi digital masyarakat dan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah (UMKM). Ini karena pemerintah menargetkan 30 juta dari 64
juta lebih UMKM, masuk ekosistem digital. Untuk tingkat menengah, Kominfo
menggelar Digital Talent Scholarship bagi 100 ribu peserta tahun ini. “Kami
bekerja sama dengan perusahaan teknologi global, sehingga ahli yang memberikan
pelatihan,” kata Johnny dalam rapat kerja virtual, Februari lalu (24/2).
Kementerian juga menggelar
Digital Leadership Academy yang menyasar pendiri startup hingga pejabat
pemerintah daerah (pemda). “Kami juga bekerja sama dengan perusahaan teknologi
global dan negara mitra seperti India, Tiongkok, Singapura, dan lainnya. Ini
untuk mendukung smartcity yang sedang kami kembangkan,” ujarnya. |