Pendahuluan Pada paradigma konstruktivistik dinyatakan bahwa belajar bukanlah sekedar kegiatan memindahkan pengetahuan dari pembelajar (learner) kepada peserta didik (student), melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya (Yamin, 2012). Sehingga dalam pendekatan ini mind tidak berfungsi sebagai alat penjiplak struktur pengetahuan melainkan sebagai alat untuk interprestasi informasi yang diterima sehingga muncul makna yang unik. Dengan demikian menurut konstruktivism informasi pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang merupakan hasil yang dibangun (dikonstruksi) secara aktif oleh dan dalam diri subjek belajar yang disebut dengan peserta didik, bukan secara pasif diterima dari lingkungannya. Salah satu cara mengkonstruksi pengetahuan yang dimiliki oleh peserta didik adalah dengan menghadirkan teknologi dalam kegiatan pembelajaran yang sedang mereka alami. Perkembangan yang cepat dari teknologi telah mengakibatkan terjadinya pergesarn yang signifikan dalam hal bagaimana, kapan, dan dimana manusia dapat beraktivitas. Implementasi teknologi pada bidang pendidikan seyogyanya distrukturisasi agar dapat secara efektif menghantarkan peserta didik menghadapi abad ke-21. Masa sekarang ini anak usia sekolah sedang tumbuh seiring dalam pertumbuhan media teknologi yang tersebar dimanamana (ubiquitos technology) dan saling terkoneksi. Tantangan yang muncul akibat kemajuan dan perubahan teknologi telah mengubah karakteristik masyarakat secara significant, seperti misalnya model pembelajaran suatu pengetahuan yang dulunya biasa disampaikan dalam ruang kelas nampaknya tidak akan tampak lagi cocok bagi keberhasilan pendidikan di era teknologi seperti saat ini. Lebih jauh lagi, dekade sekarang ini peserta didik tidak hanya membutuhkan pemikiran dari pembelajar mengenai apa yang perlu mereka pelajari, tetapi juga bagaimana dan kapan mereka dapat belajar. Realitas yang harus dipertimbangkan adalah peserta didik saat ini sedang tumbuh dengan laptop, tablet, ponsel, dan mereka mengharapkan untuk dapat menggunakan teknologi ini di dalam pembelajaran (Laurilard,2014). Teknologi komputer telah berhasil diaplikasikan dengan baik dalam pembelajaran dan penilaiannya. Teknologi jenis ini dipercaya sebagai tool yang powerfull bagi perubahan dan reformasi pendidikan. Sejumlah penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ketepatan penggunaan perangkat teknologi dalam pembelajaran dapat meningkatkan kualitas pendidikan dengan menghubungkan pembelajaran ke situasi kehidupan nyata (Fu,2013). Skill penguasaan teknologi kelak akan menjadi prasyarat bagi pembelajar dimasa depan. Melalui teknologi komputer, pembelajaran dapat terjadi kapan saja dan dimana saja (Blazer, 2008). Materi pelajaran online misalnya, dapat diakses dalam 24 jam, tujuh hari, dalam seminggu. Demikian pula adanya kelas telekonferens telah memungkinkan baik pembelajar dan peserta didik dapat berinteraksi secara mudah dan menyenangkan. Berbasis pada teknologi pula pembelajaran tidak bergantung pada metari cetak kertas semata karena beragam sumber pembelajaran dapat diperoleh dimana dan darimana saja. Penelitian yang telah ada saat ini mengindikasikan bahwa teknologi membantu dalam pengalihragaman sebuah lingkungan pengajaran menjadi berpusat pada peserta didik (learnedcentered) (McClarty, 2012). Sejak peserta didik terlibat secara langsung dalam proses pembelajaran, mereka mendapatkan kepercayaan diri yang tinggi dalam pembuatan keputusan dan perencanaan (Elston, 2013). Area lain yang juga menjanjikan kearah penggunaan teknologi dalam pembelajaran adalah penggunaan teknologi realitas tertambahkan (augmented reality) disingkat AR. Naismith (2008) melaporkan bahwa AR dan pembelajaran berbasis game akan mempertinggi kemampuan penalaran secara luas. Pendidikan berbasis game akan menguatkan skill yang penting untuk pekerjaan mendatang seperti kolaboratif, pemecahan masalah, dan komunikasi. Pada penelitian Laurilard (2014) dan McClarty (2012) disampaikan bahwa ternyata banyak sekali skill yang diperlukan ketika ingin keberhasilan dalam bermain game, seperti pemikiran, perencanan, pembelajaran, dan teknikal skill. Berdasarkan pada beberapa penelitian yang telah dilakukan dibeberapa topik teknologi pembelajaran maka pada masa kini masih terbuka peluang pula untuk mengimplementasikan bentuk teknologi lain dengan variasi topik yang berbeda yaitu menggunakan teknologi IR dengan aplikasi web. Terdapat beberapa definisi mengenai gaya-gaya belajar (learning styles). Menurut Bennet (1979), gaya belajar adalah sebuah cara yang paling disukai oleh seorang peserta didik dalam melakukan pembelajaran. James dan Blank (1993) mendifinisikan gaya belajar sebagai sebuah metode yang rumit dalam mana peserta didik merasa paling efisien dan paling efektif dalam melaksanakan proses, menyimpan dan mendapatkan kembali sesuatu yang mereka sedang pelajari. McLoughin (1999) menyimpulkan istilah gaya belajar sebagai pengadopsian sebuah mode yang bersifat tipikal dan berbeda dari setiap peserta didik dalam pembelajaran. Honey & Mumford (1992) mendefinisikan gaya belajar sebagai kecakapan/kemampuan dan perilaku yang menentukan cara-cara yang lebih disenangi oleh peserta didik dalam proses pembelajaran. Gaya belajar mempengaruhi efektifitas dari pelatihan (training), apakah pelatihan itu tersedia secara on-line atau dalam cara-cara yang lebih tradisional (Benham (2002)). Menurut Riding dan Cheema (1991), gaya belajar dapat diklasifikasikan sebagai wholist-analytical dan verbaliser-imager. Wholist-analytical menggambarkan bagaimana individu mengolah informasi. Wholist lebih menyukai untuk mempelajari materi secara global. Sementara analyst adalah lebih menyerupai pada pengolahan informasi dalam cara yang detail. Verbaliser-imager menggambarkan bagaimana individu mengekspresikan informasi. Verbaliser lebih menyukai untuk menyajikan informasi dalam bentuk kata-kata, sementara imager cenderung untuk menyajikan informasi dalam bentuk piktorial. Pask (1988) menyebutkan wholist-analytical sebagai holist-serialist. Menurut Park, wholists lebih menyukai untuk memulai belajar dengan pandangan terhadap materi dan kemudian baru diolah terhadap detail-detailnya. Sementara serialists cenderung untuk mengikuti langkah demi langkah instruksi. Menurut Felder, dkk (1988), wholist dan serialist dikenal sebagai global dan sequensial, sementara verbaliser dan imager dikenal sebagai verbal dan visual. Sequential learners cenderung untuk belajar dalam step linear yang mengikuti bagian step by step. Global learners lebih menyukai untuk belajar dalam lompatan-lompatan besar. Menurut Sarasin (1999) paling banyak pebelajar dapat
dikategorikan sebagai visual, auditory, dan kinesthetic learners bergantung pada bagaimana
mereka lebih menyukai untuk menerima dan mengolahinformasi. Visual learners dapat beajar
dengan efektif ketika mereka melihat materi. Auditory learners suka untuk mendengarkan
materi, sementara kinesthetic learners adalah yang belajar terbik dengan mengerjakan. Ketiga
kategori ini dkenal sebagai gaya pembelajaran VAK. Gaya pembelajaran VAK menghubungkan
pada kanal pengamatan manusia, yaitu penglihatan (vision), pendengaran (hearing), dan
perasaan (feeling). Hal ini menganjurkan bahwa learner dapat dibagi kedalam salah satu dari
tiga gaya pembelajaran yang disukai, yaitu visual, auditory, atau kinesthetic. Auditory learners
lebih menyukai untuk menyerap informasi dengan mendengarkan. Mereka belajar terbaik dari
mendengarkan ada kuliah, partisipasi dalam diskusi dan pembicaraan sesuatu. Ketika mereka memanggil kembali informasi, mereka akan mengingat cara mereka mendengarkannya. Visual
learners belajar terbaik ketika informasi disajikan dalam gambar-gambar, tabel-tabel, chartchart, peta-peta atau diagram-diagram. Melihat dan membaca adalah aktifitas penting bagi
visual learners.
Kinesthetic learners belajar terbaik melalui merasakan dan mengerjakan. Mereka lebih
menyenangi aktivitas laboratorium atau perjalanan lapanan daripada kuliah dalam kelas. Mereka
suka untuk terlibat dengan pengalaman-penglaman secara fisik, seperti sentuhan, merasakan,
memegang, melakukan, dan pengalaman-pengalama yang berkaitan dengan tangan secara
praktek. Setiap gaya model pembelajaran memiliki perangkat (instrument) tersendiri untuk
pengukuran learners yang biasanya dalam bentuk kuisioner. Kuisioner menyediakan beberapa
pertanyaan mengenai personalitas learner, kemampuann dan perilaku. Pada penelitian ini gaya
pembelajaran VAK akan dikombinasikan dengan gaya pembelajaran Felder yang berupa gaya
pembelajaran global dan sekuensial.
PENDEKATAN & METODE
Pada penelitian ini akan digunakan pendekatan deduktif dan induktif, yaitu untuk
meningkatkan pemahaman terhadap sesuatu dan bukan membangun penjelasan dari sesuatu.
Metode penelitian tindakan kelas adalah studi berupa monitoring dan pencatatan penerapan
sesuatu oleh peneliti secara hati-hati, yang tujuannya untuk memecahkan masalah dan mengubah
sesuatu. Metode tindakan kelas dilakukan dengan pengujian sebelum aplikasi dan pengujian
sesudah aplikasi. Pada penelitian ini menggunakan kuisioner.
Metode penelitian dilaksaakan dengan Research & Development (Borg & Gall, 2003)
dengan tahapan disajikan pada Gambar 1 berikut ini. Gambar 1. Diagram metode R & D HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan aplikasi augmented reality untuk media pembelajaran Mata Pelajaran Biologi
pada materi bahasan struktur mikroorganisme unisel dimulai dari tahap analisis kebutuhan,
dalam tahap ini seluruh kebutuhan yang dibutuhkan untuk membuat aplikasi ini dipersiapkan,
baik kebutuhan software maupun hardware. Tahap selanjutnya adalah tahap desain objek
dimana menentukan desain mikroorganisme berdasarkan bentuk dan gambar dari hasil analisis sebelumnya. Berikutnya tahap pembuatan objek dari hasil desain objek dengan menggunakan software blender. Tahap selanjutnya pembuatan marker sesuai bentuk yang diinginkan dengan mengunggah bentuk gambar yang akan dijadikan marker ke website developer vuforia kemudian menginstal hasil unduhan ke software unity3D untuk diproses menjadi augmented reality. Tahap selanjutnya pengujian marker yang berguna untuk mengetahui apakah marker dapat dideteksi dan menampilkan objek augmented reality. Pembuatan objek mikroorganisme dimulai dari tahap menentukan desain objek. Gambar 2 sampai Gambar 3 berikut ini adalah desain gambar objek hasil analisis dari masing-masing mikroorgnisme. Gambar 2. Desain Amoeba
Gambar 3. Desain Euglena Berdasrkan desain masing-masing mikroorganisme diatas, tahap selanjutnya yaitu membuat bentuk objek 3D dengan menggunakan software blender. Pembuatan objek 3D ini menghasilkan bentuk seperti ditampilkan pada Gambar 4 dan Gambar 5 berikut ini. Gambar 4. Bentuk 3D Amoeba Gambar 5. Bentuk 3D Euglena Halaman menu utama berisi menu-menu seperti amoeba, euglena, paramaecium, cara penggunaan, pengaturan dan keluar sebagaimana ditampilkan pada Gambar 6 berikut. Halaman menu fungsi akan muncul jika menekan menu fungsi pada menu mikroorganisme.
Halaman tersebut ditampilkan pada Gambar 9 dan Gambar 10 di bawah ini. Aplikasi ini berjalan baik dengan menggunakan layar beresolusi layar 1080x1920. Seluruh
tampilan menu-menu dalam aplikasi ini terlihat tidak ada yang terpotong. Aplikasi ini dirancang
dengan menggunakan dua metode transisi, yaitu transisi animasi dan transisi scene. Berikut ini
merupakan kelebihan dan kekurangan dari metode transisi tersebut.
Pengujian aplikasi ini dilakukan pada masyarakat umum sebanyak 20 responden dengan
latar belakang profesi sebagai pelajar dengan cara mengisi kuisioner. Kuisioner ini berisi 6
pernyataan, masing-masing pernyataan diwakili dengan huruf A, B, C, D, E, dan F. Penilaian
terdiri dari “SS” untuk sangat setuju yang berbobot 5, “S” untuk setuju yang berbobot 4, “N”
untuk kurang yang berbobot 3, “TS” untuk tidak setuju yang berbobot 2, dan “STS” untuk
sangat tidak setuju yang berbobot 1. Berdasarkan kuisioner tersebut dihasilkan data pada
Gambar 10 berikut. Keterangan :
A : Tampilan aplikasi menarik
B : Aplikasi mudah dioperasikan
C : Marker dapat dideteksi
D : Materi mudah dipelajari
E : Aplikasi dapat membantu belajar tentang mikroorganisme unisel
F : Aplikasi dapat meningkatkan minat belajar
Kelebihan transisi animasi diantaranya :
1. Apabila menggunakan satu jenis musik metode ini sangat cocok karena tidak memotong
atau memberhentikan musik saat pergantian menu.
2. Menggunakan background yang sama saat pergantian menu.
3. Transisi dapat berjalan apabila kondisi animasi dalam keadaan benar.
Kekurangan transisi animasi diantaranya :
1. Tidak cocok apabila menggunakan berbagai musik dalam pergantian menu.
2. Pada saat transisi berganti scene, transisi ini akan kembali ke menu utama sebagai default
karena pada pengaturan kodenya mengembalikan pada menu utama.
3. Transisi ini tidak dapat kembali ke submenu dari menu utama.
4. Transisi ini harus memili suatu kondisi dalam animasi perpindahannya Kelebihan transisi scene diantaranya :
1. Dapat menggunakan beberapa macam musik.
2. Dapat berpindah kembali ke menu-menu sebelumnya dengan menghiraukan menu utama
sebagai default.
3. Background dapat berganti sesuai dengan menu scene.
Kekurangan transisi scene diantaranya :
1. Musik akan berhenti jika pindah ke menu yang lain.
2. Apabila aplikasi ini dibuka menggunakan Laptop akan terasa agak lama saat membuka
scene baru.
Dalam aplikasi ini digunakan marker yang menampilkan tulisan kembali dan fungsi karena
apabila saat menggunakan kamera handphone dapat dengan tepat mengetahui tombol virtual
button yang ada di marker. Sedangkan apabila menggunakan tulisan pada menu, akan terlihat
tulisan tersebut melayang sehingga harus menyesuaikan antara marker dengan tulisan yang ada
dimenu dan kurang menarik.
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, A. (2007). Media Pembelajaran. Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada. Cain, T. (2011). Teachers’ classroom based action research. International Journal of Research & Method in Education. Vol 34, No.1, pp. 3-16, DOI: 10.1080/1743727X.2011.552307 Fero, D. (2011). Pengembangan Media Pembelajaran Menggunakan Macromedia Flash 8 pada Mata Pelajaran TIK: Pokok Bahasan Fungsi dan Proses Kerja Peralatan TIK Di SMA N 2 Banguntapan, Thesis, Universitas Negeri Yogyakarta. Kirkwood, Adrian, Price dan Linda (2014). Technology-enhanced learning and teaching in higher education: what is ‘enhanced’ and how do we know? A critical literature review, e-article pada Learning, Media and Technology, DOI:10.1080/17439884.2013.770404 Majid, A. (2008). Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyanto, A. (2013). Media Pembelajaran Tik (Teknologi Informasi Dan Komunikasi) Untuk Siswa Menengah Pertama Berbasis Multimedia, Thesis, Unibersitas Stikubank Semarang NN. (2013). Peraturan Pemerintah. Tentang, Tentang Standar Sarana dan Prasarana, Pasal 1 Ayat 9 dan 19. Sekertariat Negara Republik Indonesia, Jakarta. Prasetyo, Z.K. (2011). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Sains Terpadu Untuk Meningkatkan Kognitif, Keterampilan Proses, Kreativitas serta Menerapkan Konsep Ilmiah Peserta Didik SMP, Program Pascasarjana UNY. Putra, B.H. (2011). Rancang Bangun Aplikasi Pembelajaran Biologi untuk Sistem Pernafasan pada Hewan Berbasis Komputer. Jurnal Jurusan Teknik Informatika. STMIK GI MDP. Ratnawati, R dan T.I Tjendrowaseno. (2013). Pembuatan Media Pembelajaran Biologi Untuk Kelas VIII Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tasikmadu, Jurnal Saintek, UNY, Yogyakarta. Rifai, M., T. Listiyorini, dan A. Latubessy. (2014). Penerapan Teknologi Augmented Reality pada Aplikasi Katalog Rumah Sakit Berbasis Android, e-Prosiding SNATIF, ISBN: 978- 602-1180-04-4. sumber : https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/9731/16.pdf?sequence=1 |